Cerita, Motivasi & Renungan #116
Alkisah, jaman dahulu kala hidup seorang kuncoroh yang berkeyakinan bahwa ia bertugas untuk mendekati orang–orang yang melakukan perbutan tercela, menyadarkan dan mengarahkan mereka kepada pemikiran spiritual sehingga mereka bisa menempuh jalan kebenaran. Namun ada hal yang tidak dapahami sang kuncoroh, bahwasanya seorang guru sejati tidak mengajarkan asas-asas yang tetap kepada setiap orang, karena seorang guru dapat saja memperoleh hasil yang bertolak belakang dari apa yang diinginkan jika ia tidak mengetahui apa yang ada di hati sang murid.
Beginilah ceritanya, suatu hari sang kuncoroh menemukan sesorang yang kecanduan berjudi dan tidak bisa menghentikan kebiasaannya ini. kuncoroh ini kemudian memutuskan untuk turun tangan dan mengawasi sang penjudi. Setiap penjudi kita ini pergi ke rumah judi, sang kuncoroh meletakkan sebuah batu di depan rumah si penjudi untuk menandai dosa, dengan harapan nantinya batu-batu yang terus bertambah akan menjadi peringatan akan kejahatan.
Demikianlah, setiap meninggalkan rumahnya untuk pergi berjudi, penjudi ini merasa bersalah, dan sepulangnya ke rumah, ia merasa lebih berdosa lagi melihat batu-batu itu semakin menggunung. Akan halnya sang kuncoroh, setiap menaruh batu dalam tumpukan, selain merasa geram juga merasakan semacam kepuasan pribadi -- sesuatu yang dianggapnya illahi--- ; mencatat dosa.
Tak terasa proses ini berlangsung dua puluh tahun. Dan setiap penjudi ini bertemu sang kuncoroh, ia merasa malu, dan membathin,” Akankah aku mengerti kebajikan. Betapa orang saleh itu telah bersusah payah untuk keinsyafanku. Kapan aku bisa bertobat, menjadi seperti dia. Aku yakin pastilah ia seorang ahli sorga.”
Kemudian, ketika suatu hari ada bencana alam, kedua tokoh cerita kita ini tewas bersamaan harinya. Datanglah seorang malaikat menjemput si penjudi, dan berkata,” Mari pergi ke sorga bersamaku.”
Penjudi ini kaget dan memprotes, “Ah, tak mungkin. Aku seorang pendosa dan harus pegi ke neraka. Pastilah kamu salah orang, harusnya kamu jemput kuncoroh yang telah berusaha menginsyafkanku selam dua puluh tahun terakhir ini.”
Akan tetapi, malaikat menjawab,”Sebaliknya, ia sekarang tengah diantar malaikat yang lain ke tempat yang lebih rendah. Neraka!”
Sang penjudi malah beteriak marah, "Tidak adil. Bagaimana mungkin. Pastilah kalian telah memutarbalikkan perintah!
"Tentu tidak,” jawab sang malaikat,” Begini ceritanya, kuncoroh itu selama duluh puluh tahun diliputi oleh rasa superioritas dan rasa berjasa. Selama itu pula ia tidak menumpuk batu untukmu, tapi sesungguhnya untuk dirinya sendiri. Dan sekarang ia harus menerima buahnya.
"Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan pahala?” tanya sang penjudi.
"Engkau mendapatkan pahala karena setiap bersua kuncoroh itu, engkau memikirkan kebajikan, dan berbaik sangka kepada kuncoroh itu. Kebajikanlah yang sekarang memberikan pahalanya kepadamu."
Alkisah, jaman dahulu kala hidup seorang kuncoroh yang berkeyakinan bahwa ia bertugas untuk mendekati orang–orang yang melakukan perbutan tercela, menyadarkan dan mengarahkan mereka kepada pemikiran spiritual sehingga mereka bisa menempuh jalan kebenaran. Namun ada hal yang tidak dapahami sang kuncoroh, bahwasanya seorang guru sejati tidak mengajarkan asas-asas yang tetap kepada setiap orang, karena seorang guru dapat saja memperoleh hasil yang bertolak belakang dari apa yang diinginkan jika ia tidak mengetahui apa yang ada di hati sang murid.
Beginilah ceritanya, suatu hari sang kuncoroh menemukan sesorang yang kecanduan berjudi dan tidak bisa menghentikan kebiasaannya ini. kuncoroh ini kemudian memutuskan untuk turun tangan dan mengawasi sang penjudi. Setiap penjudi kita ini pergi ke rumah judi, sang kuncoroh meletakkan sebuah batu di depan rumah si penjudi untuk menandai dosa, dengan harapan nantinya batu-batu yang terus bertambah akan menjadi peringatan akan kejahatan.
Demikianlah, setiap meninggalkan rumahnya untuk pergi berjudi, penjudi ini merasa bersalah, dan sepulangnya ke rumah, ia merasa lebih berdosa lagi melihat batu-batu itu semakin menggunung. Akan halnya sang kuncoroh, setiap menaruh batu dalam tumpukan, selain merasa geram juga merasakan semacam kepuasan pribadi -- sesuatu yang dianggapnya illahi--- ; mencatat dosa.
Tak terasa proses ini berlangsung dua puluh tahun. Dan setiap penjudi ini bertemu sang kuncoroh, ia merasa malu, dan membathin,” Akankah aku mengerti kebajikan. Betapa orang saleh itu telah bersusah payah untuk keinsyafanku. Kapan aku bisa bertobat, menjadi seperti dia. Aku yakin pastilah ia seorang ahli sorga.”
Kemudian, ketika suatu hari ada bencana alam, kedua tokoh cerita kita ini tewas bersamaan harinya. Datanglah seorang malaikat menjemput si penjudi, dan berkata,” Mari pergi ke sorga bersamaku.”
Penjudi ini kaget dan memprotes, “Ah, tak mungkin. Aku seorang pendosa dan harus pegi ke neraka. Pastilah kamu salah orang, harusnya kamu jemput kuncoroh yang telah berusaha menginsyafkanku selam dua puluh tahun terakhir ini.”
Akan tetapi, malaikat menjawab,”Sebaliknya, ia sekarang tengah diantar malaikat yang lain ke tempat yang lebih rendah. Neraka!”
Sang penjudi malah beteriak marah, "Tidak adil. Bagaimana mungkin. Pastilah kalian telah memutarbalikkan perintah!
"Tentu tidak,” jawab sang malaikat,” Begini ceritanya, kuncoroh itu selama duluh puluh tahun diliputi oleh rasa superioritas dan rasa berjasa. Selama itu pula ia tidak menumpuk batu untukmu, tapi sesungguhnya untuk dirinya sendiri. Dan sekarang ia harus menerima buahnya.
"Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan pahala?” tanya sang penjudi.
"Engkau mendapatkan pahala karena setiap bersua kuncoroh itu, engkau memikirkan kebajikan, dan berbaik sangka kepada kuncoroh itu. Kebajikanlah yang sekarang memberikan pahalanya kepadamu."
Terima kasih telah membaca artikel di blog ini. Silakan copas dan sebarkan tetapi jangan lupa cantumkan link blog ini. ya. :)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar